Sabtu, 28 Februari 2009

Mooryati Soedibyo, ketekunan sang penjual jamu

Soedibyo, kelahiran Sleman. Yogyakarta, sarjana tekstil pensiunan pejabat tinggi departemen perindustrian. Sedang istrinya, yang mungkin lebih banyak diketahui, cucu Raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono X. Pribadi mandiri yang sejak usia tiga tahun telah digembleng neneknya, tinggal bersama di Keputren Keraton. Sebagai wanita pengusaha, Mooryati adalah produsen berbagai ragam jamu dan kosmetika tradisonal, plus sekian banyak usaha bisnis lainnya.

Mooryati sangat bersemangat dalam memajukan usahanya. Sesuatu yang wajar. Bahkan sesungguhnya harus menjadi jati diri setiap pengusaha. Apalagi karena sifat bisnisnya sebuah produk, menjadi tidak relevan tuduhan menerima fasilitas. Sebab dalam hal ini, tingkat keberhasilan justru akan tergantung kepada penerimaan masyarakat pengguna produknya. Sekalipun menikmati fasilitas berlimpah, banyak produk sejenis juga bertebaran di masyarakat. Pandangan masyarakat menjadi batu ujian, kualitas produknya baik atau jelek, punya daya saing atau tidak.

Ada ungkapan klasik. Nabi tidak dikenal di kampungnya sendiri. Tahun lalu. Mooryati meraih penghargaan dari The Asian Institute of Management (AIM) di Manila. Philipina. Mooryati terpilih selaku seorang wanita pengusaha. Asia yang berhasil menerapkan prinsip manajemen modern (meski produknya tradisonal) dalam bisnis. Penghargaan ini membuktikan, sebagai wanita pengusaha, lewat penilaian para ahli manajemen Asia, Mooryati terbukti telah berada di jalur yang benar.”

Mooryati sekarang ini paling tidak tercatat sebagai direktur utama dari empat perusahaan raksasa. Bisnis utamanya, produsen jamu dan kosmetika tradional, tetap menjadi andalan. Alumni jurusan bahasa Inggris. Universitas Saraswati Solo dan pemilik ijazah tingkat V Aliance Francaise ini, pada kenyataannya juga memimpin perusahaan yang bergerak dalam bidang gedung perkantoran serta hotel berbintang. Malahan bulan lalu, di tengah kinerja berbagai bank merosot, Mooryati malahan menguasai sebuah bank papan atas. “Ah…tapi bank tersebut tidak saya beli sendirian. Saya tetap hanya dodol jamu, berjualan jamu saja,” katanya berkilah.
Roma memang tidak dibangun dalam sehari. Demikian pula kerajaan bisnis Mooryati tidak tercipta dalam sekejap.

Segala macam sukses pada hari ini, bertolak belakang dengan suasana ketika pertengahan tahun 1973 Mooryati dengan modal Rp. 25.000,- merintis bisnis dengan meramu sendiri minuman beras kencur di garasi rumah, bersama dua orang pembantunya. “Saya sengaja membikin beras kencur, karena paling gampang. Bisa dikerjakan malam hari, paginya langsung saya bawa ke arisan atau ditawarkan dari rumah ke rumah…”.

Untuk menjamin mutu, bahan bakunya dibeli dari Solo, Jawa Tengah. Masa itu Mooryati harus pulang balik Jakarta-Solo sekali seminggu naik bis malam, karena modal terbatas. Dia juga harus membawa uang kontan, karena para penjual bahan (jamu) belum mengenalnya. “Semuanya saya jalani dengan ikhlas…”.

Ketekunannya berusaha bisa menjadi teladan. Tanpa menyerah, Mooryati secara cermat terus mengembangkan industrinya, terus memperluas pasar dan menapak ke atas. Dua tahun setelah produk beras kencurnya dimasyarakatkan, dengan pembantu berkembang menjadi sepuluh orang, produknya berjumlah enam macam. Tetapi baru setelah lima tahun berjalan, dengan karyawan sekitar 50 orang, produksinya mulai masuk ke salon-salon kecantikan.

Berkembangnya produksi penyebab munculnya konflik situasi. Para karyawannya harus bekerja sampai malam, mereka ikut tidur di rumah pribadinya yang sempit di Jalan Sawo. “Privacy keluarga mulai terganggu.” Di setiap tempat banyak tumpukan botol atau bahan mentah jamu berserakan, di segala sudut rumah ada orang bekerja. Maka saya segera putuskan, membikin pabrik di Ciracas. Diresmikan pada tanggal 8 April 1987 oleh Menteri Kesehatan Soewardjono Soeryaningrat. .”

Berbareng dengan tumbuhnya kesadaran untuk kembali ke alam, jamu dan kosmetika tradisional buatan Mooryati mulai berkembang pesat. Produksinya tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat setempat, namun juga telah diterima luas sejak dari Jepang sampai negara-negara di Timur Tengah. Jamu tradisional tidak lagi sekedar hanya merupakan industri rumah tangga, melainkan sudah tumbuh menjadi industri sekaligus eksportir raksasa.

Lahir di Solo pada tanggal 5 Januari 1928, usianya yang sudah mulai senja sama sekali tidak pernah menyurutkan langkahnya. Mooryati masih selalu tangkas, setangkas tokoh wayang Srikandi idamannya. Apa resepnya meraih keberhasilan? Matanya langsung bersinar. Cepat sekali jawaban Mooryati, “Singkat saja, tekun dan sabar. Kalau itu bisa dihayati, semua impian akhirnya pasti terwujudkan…”

Hot Money, by Roy Sembel

Lima tahun lalu, tidak banyak orang yang menduga bahwa pasar saham Indonesia akan melonjak sedemikian pesatnya sehingga indikator pasar saham yaitu IHSG akan menembus di atas 2000. Saat itu level IHSG berada di sekitar 400, tidak banyak beranjak sejak tahun 2000. Dalam tempo 5 tahun terakhir, IHSG sudah melonjak lebih dari 5 kali lipat. Dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2007, IHSG telah melonjak lebih dari 20%. Kenaikan yang luar biasa pesat ini rupanya bukan monopoli pasar saham Indonesia saja, melainkan juga terjadi di pasar modal negara lain baik di pasar yang sudah mapan maupun pasar yang sedang berkembang (emerging markets). Misalnya saja MSCI Index (indikator yang mewakili pergerakan pasar saham dunia) selama paro pertama 2007 juga telah meningkat di atas 20%. Fenomena global ini dimaknai oleh banyak analis sebagai kelebihan likuiditas di level global sehingga “too much money chasing too little financial instruments. ” Singkatnya, ada
banyak hot money beredar di seluruh dunia. Ketersediaan dana besar, sementara tempat investasi sedikit. Harga pun melambung tinggi sehingga banyak pemodal untung besar. Hot money dipersepsikan menjadi primadona atau honey. Sayangnya, peningkatan harga sekuritas finansial akibat aliran hot money bersifat temporer. Uang panas itu biasanya dengan mudah akan berpindah dari suatu pasar modal ke pasar lain. Akibatnya, uang panas akan berdampak terhadap meningkatnya gejolak, baik di pasar modal mau pun di pasar valas, khususnya di negara-negara yang pasar finansialnya masih belum dalam.

Gejala gejolak (volatilitas) yang tinggi ini sudah mulai terasa di Indonesia. Akibat masalah eksternal, yaitu tingginya kredit macet pada sub prime mortgage di AS, pasar modal Indonesia pun terkena getahnya. Pada peralihan bulan Juli Agustus 2007, IHSG bergejolak seolah roller coaster. Setelah sempat mencapai rekor tertinggi menembus 2401 pada minggu terakhir bulan Juli 2007, IHSG tumbang sekitar 10% sampai ke level 2174 dalam hitungan hari. Gejolak terus berlanjut memasuki minggu kedua bulan Agustus. Pada tanggal 10 Agustus 2007, indeks ditutup pada level 2207 melorot 34 poin dibanding hari sebelumnya. Penawaran saham sekunder Bank BNI pun menjadi korban. Banyak pemesan saham Bank BNI membatalkan pesanannya karena khawatir kejatuhan pasar saham akan terus berlanjut. Pelarian uang dari pasar finansial ini selain menyebabkan rontoknya harga saham, juga membuat pasar obligasi dan mata uang rupiah terguncang. Selama bulan Juli saja, jumlah dana yang
diparkir di SBI dan SUN telah turun belasan trilyun rupiah. Gejolak juga terasa sekali di pasar valas sampai menjelang peringatan 10 tahun Proklamasi Kemerdekaan Rupiah (pita intervensi rupiah dicabut dan rupiah dibiarkan mengambang 14 Agustus 1997 - 14 Agustus 2007). Kurs dollar menguat (rupiah melemah) dari level Rp 9100/$ ke level di atas Rp 9300/$.

Hot money memang bisa bermanfaat saat uang itu masuk ke dalam pasar atau negara. Kendati begitu, hot money akan menjadi boomerang saat mereka secara cepat meninggalkan pasar atau negara. Volatilitas adalah hal yang wajar dalam dunia yang semakin mengglobal. Kendati begitu, gejolak yang berlebihan akan sangat kontra produktif bagi perkembangan dan kesehatan pasar finansial dan perekonomian nasional. Hot money bukanlah honey (madu). Jadi perlu ada mekanisme terstruktur untuk meredam dampak volatilitas dari hot money.

Insentif, bukan larangan

Indonesia perlu mengundang dana asing masuk untuk berinvestasi di Indonesia.. Tetapi jenis dana asing yang diperlukan adalah dana untuk sektor riil berjangka panjang. Investasi portofolio asing di Indonesia sudah cukup, bahkan cenderung berlebihan. Saat ini dana pihak ketiga yang masih menganggur (belum disalurkan sebagai kredit) masih ratusan trilyun. Jadi dana domestik di sektor finansial masih cukup besar. Hal ini tidak berarti kita harus melarang dana asing yang masuk untuk investasi portofolio ke sektor finansial. Cara yang paling tepat adalah dengan memberi insentif kepada dana asing jangka pendek itu untuk menetap di Indonesia. Sebagai contoh, bila dana investasi portofolio jangka pendek itu telah mengendap setahun dan kemudian dialihkan ke investasi sektor riil jangka panjang terutama yang menyerap banyak tenaga kerja, maka diberikan insentif berupa beberapa kemudahan seperti fasilitas swap valas dengan kurs menarik, keringanan perpajakan, dll.
Selanjutnya, untuk dana asing yang belum masuk, bisa dibuatkan perlakuan berbeda misalnya dengan subsidi silang rentang kurs jual beli (bid-ask spread) yang lebih menguntungkan investor jangka panjang di sektor riil. Pemerintah bisa juga melengkapi daftar negatif investasi dengan daftar sektor yang menjadi prioritas pengembangan (misalnya pembangunan infrastruktur di wilayah tertinggal, pengembangan energi alternatif, industri berorientasi ekspor, dll) yang akan diberikan kemudahan atau perlakuan khusus. Sebagai tambahan, bagi investor asing yang telah setia berinvestasi dalam jangka panjang di Indonesia perlu diberikan apresiasi atau penghargaan khusus. Jangan sampai kita mencari kawan baru namun melupakan sahabat lama.

Peringatan 10 tahun ‘Hari Kemerdekaan Rupiah’ 14 Agustus 1997, selayaknya dijadikan momentum untuk koreksi diri. Kebebasan yang berlebihan bisa berbuah menjadi bencana seperti yang terjadi semasa krisis tahun 1997-1998. Sebagai tuan rumah, kita berhak menentukan tamu mana yang mendapat prioritas untuk diundang. Adanya sistem penghargaan dan insentif khusus bagi tamu prioritas ini akan meningkatkan manfaat menjadi investor jangka panjang di sektor riil pada sektor yang akan membawa imbas nilai tambah yang signifikan bila dikembangkan. Al hasil, komposisi tamu yang datang ke rumah kita akan mengalami self-selection ke arah yang kita inginkan, yaitu membawa manfaat jangka panjang yang win-win baik bagi tamu maupun tuan rumah. Merdeka!

Senin, 16 Februari 2009

Memanfaatkan Manajemen Konflik

Bicara waralaba ayam bakar, ingat Wong Solo. Berdebat tentang Wardoyo, pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Malah dalam banyak hal, nama lelaki ini lebih beken ketimbang rumah makannya. Maklum, keberaniannya membuat acara Poligamy Award di suatu hotel beberapa waktu lalu, menimbulkan pro dan kontra. Apakah ia kebablasan dalam hal personal branding? Tunggu dulu. Ternyata, menurut pria kelahiran Solo 46 tahun lalu ini, apa yang ia lakukan memang disengaja. Kok bisa?

“Saya harus menciptakan konflik terus-menerus di benak orang supaya orang membicarakan saya,” ujar Direktur PT Sarana Bakar Diggaya ini blakbalakan. Bahkan ia mengungkapkan, jika perlu, ia membayar orang untuk mendemo dirinya sendiri. Tujuannya, supaya orang selalu membicarakan dirinya tanpa henti dan polemik menjadi panjang. Contohnya, isu poligami.

Bagi Puspo, apakah orang membicarakan hal positif atau negatif, untuk tahap awal bukanlah masalah. Yang penting, setiap saat orang membicarakan dirinya. Hal ini, dikatakannya, penting untuk bisnisnya. “Ketika orang membicarakan Puspo, itu berarti membicarakan Wong Solo, ” ujar suami dari empat wanita ini. Ia yakin, jika orang kenal Puspo, yang bersangkutan akan men-deliver hal itu ke Wong Solo.

Bagaimana Puspo bisa melakukan ini semua? Diceritakan, ketika pada tahun 1993 memulai bisnis ini, ia belum seterkenal sekarang. Ia memulai perjalanan usahanya dengan modal Rp. 700 ribu. Waktu itu orang mengenalnya hanya sebagai pedagang kaki lima di Bandara Polonia, Medan.
Namun suatu hari pada 1996, Koran daerah Medan, Waspada menulis seputar dirinya. Judulnya, “Puspo Wardoyo, Sarjana Membuka Ayam Bakar Wong Solo di Medan.” Sejak itu, bisnis rumah makannya sukses besar. Omsetnya naik 300%-400%. “Dari sini saya sadar dampak pemberitaan,” ujar mantan guru SMA di Bagansiapi-api, Sumatera Utara ini. Dan ia pun mulai mendekati pers.

Setelah cukup dekat dengan kalangan pers. Puspo mulai memahami cara kerja dunia pers. Antara lain, penting isu dalam pemberitaan. Sejak itu, ia mulai menciptakan isu atau konflik yang berkenaan dengan dirinya. “Isu atau konflik itu penting supaya media mau memberitakannya, tanpa kita memintanya,” ia menjelaskan. Isu-isu yang dibuatnya haruslah mengandung unsur tidak bermasalah. Malah kalau bisa, dengan isu tersebut, ia menjadi pahlawan. “karena seorang pionir adalah seorang pembuka, dan ia bisa disebut pahlawan,” katanya. Target besarnya adalah bagaimana mempromosikan bisnis.

Tentang sosok pahlawan ini, Puspo mencontohkannya dalam hal poligami. Ia memfigurkan dirinya sebagai pahlawan poligami. Sekaligus sebagai pengusaha rumah makan yang sukses dan andal. Di sini ia ingin meruntuhkan mitos bahwa poligami itu tabu.
Isu yang diluncurkan, antara lain sewaktu mendapat penghargaan Enterprise-50. Lalu, saat menerima penghargaan sebagai Waralaba Lokal Terbaik dari Presiden RI Megawati. Dan terakhir yang bikir geger Poligamy Award. Tak tanggung-tanggung, dana tak kurang dari Rp. 2 miliar dikucurkannya untuk acara ini..

Tentang isu poligami, Puspo berujar, “Ini positif dan paling efektif. Karena ada kebenaran, tapi tak semua orang berani mengungkapkannya.” Toh, ia melihat, dari sisi agama, apa yang dilakukannya tak melanggar aturan. Ia sadar, banyak orang yang setuju dan banyak juga yang tak setuju. “Ketika orang bicara poligami, tak akan pernah tuntas,” ujarnya. Hal itu, ia menambahkan, akan memunculkan konflik di antara mereka..
Puspo mengakui ia sangat terkesan dengan isu Poligamy Award. Karena, setelah acara tersebut diselenggarakan, banyak sekali tanggapan dari masyarakat. “Ini puncak promosi saya,” ujarnya bangga. Diakuinya, ini isu yang paling berat dan seru yang pernah diluncurkannya. “Karena isu ini melawan arus,” tambahnya. Isu-isu tersebut ternyata tidak dibuatnya sendiri. Ia membentuk sejumlah tim. Tim yang terdiri dari para wartawan ini tersebar di beberapa kota, antara lain Jakarta, Badung, Surabaya, Solo, Malang, Bali dan Medan. Namun, ia tak menyerahkan pembuatan isu begitu saja kepada timnya. “Semua tetap di bawah kepemimpinan saya,” katanya. Dua minggu sekali ia mengadakan rapat untuk menetapkan isu dalam satu bulan.

Hasil evaluasinya saat ini menunjukkan, nama Puspo Wardoyo sudah dikenal banyak orang. Adapun dari sisi bisnis, ia merasa relatif berhasil. Saat ini sejumlah rumah makan di berbagai kota besar dimilikinya. Sejumlah proposal kerjasama juga terus mengalir ke mejanya. Namun, kalau dibandingkan dengan rumah makannya, ia mengakui namanya cenderung lebih popular ketimbang Wong Solo. Itulah sebabnya, agar seimbang, kini ia mengupayakan agar nama rumah makannya kian dikenal. Karena hal itu, beberapa langkah kini digodoknya. Caranya? Membuat sejumlah isu baru! Pertama, isu yang berisikan pesan bahwa dirinya adalah sosok yang baik, sabar, penuh kasih sayang dengan keluarga, dan dermawan. “Saya ingin colling down setelah kasus Poligamy Award, untuk meraih simpati,” ujarnya terus terang. Berikutnya, fokus pada product branding. Sejumlah produk unggulan Wong Solo akan segera diluncurkan.

Menurutnya, selama ini Wong Solo dikenal sebagai rumah makan biasa. Padahal, usahanya ini memiliki sejumlah produk unggulan. Contohnya, beras terbaik dari Delangga. Juga, kangkung unggulan yang hidup di air panas dari Cibaya, yang karena daya tahannya yang kuat dinamakannya Kangkung Perkasa. Selain itu, ia juga memiliki beberapa produk unggulan yang namanya nyerempet-nyerempet poligami, seperti Jus Poligami, Jus Dimadu, atau Tumis Cah Poligami. Terlepas dari kontroversi yang ada, suka tidak suka, Puspo adalah salah satu pebisnis yang piawai mem-brand-kan dirinya.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kiat Bijak Berhutang

Hutang memang bisa mendatangkan petaka tragis. Hutang berlebihan bukan hanya berbahaya bagi negara. Bagi perorangan pun hutang yang bertumpuk bisa menyebabkan bencana. Keinginan untuk hidup enak sesaat sering membuat orang mengabaikan dampak jangka panjang. Jalan pintas pun ditempuh: Berhutang. Di kota besar seperti Jakarta, tekanan berhutang lebih gencar. Tak heran banyak pengamen melantunkan lagu ibu kota memang lebih kejam dari ibu tiri.

Pasalnya, pola hidup mewah cenderung dianggap menjadi ukuran kesuksesan seseorang. Gambaran orang sukses sudah salah arah ke arah materialistis, bukan lagi orang yang dapat mencapai cita atau keinginan yang besar dengan jalan berusaha keras, jujur tanpa merugikan orang lain. Pola pikir bahwa kepemilikan barang mewah menjadikan orang disegani, dapat merusak tatanan keuangan keluarga. Berhutang untuk kemewahan seperti mobil mewah mengakibatkan kita menanggung bukan hanya beban bunga yang besar, tapi juga biaya perawatan bulanan yang sangat tinggi. Tambahan pula, nilai barang seperti ini biasanya akan mengalami penurunan drastis, bisa mencapai 20-30% per tahun. Oleh karena itu sedapat mungkin jangan mudah terperangkap pola gaya hidup berlebihan yang akan memaksa kita untuk berhutang.

Malu bertanya, sesat berhutang

Jadi, enggak boleh ngutang nih? Jangan kesusu gitu dong, ceritanya belum selesai Bung! Keterbatasan penghasilan bulanan keluarga sering membuat hutang menjadi alternatif sumber pendanaan. Akan tetapi hutang yang diambil haruslah sejalan dengan tujuan masa depan yang telah direncanakan semula.

Tidak semua hutang sama. Ada hutang baik dan ada hutang buruk. Hutang baik adalah hutang yang digunakan untuk mengembangkan aset produktif (aset yang akan menghasilkan pendapatan di masa depan). Pendapatan dari aset produktif ini cukup untuk membayar hutang. Misal saja hutang untuk membeli ruko yang selanjutnya memberikan pemasukan sewa adalah hutang baik. Sebaliknya hutang digunakan untuk memuaskan keinginan meningkatkan gaya hidup dengan membeli aset non produktif seperti mobil mewah adalah termasuk hutang buruk. Hutang ini biasanya selain berbunga tinggi (baik secara nyata maupun terselubung) juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran bulanan akibat. Jadi, berhutang boleh saja asalkan hutang itu termasuk hutang baik. Hutang yang tabu adalah hutang buruk.

Agar tidak terjebak ke dalam keputusan berhutang yang keliru, ada minimal tiga pertanyaan kunci yang perlu diajukan sebelum memutuskan berhutang: (1) Untuk apa hutang tersebut digunakan?; (2) Berapa besar hutang yang ingin dan mampu Anda ambil?; (3) Bagaimana hutang itu bisa dilunasi dalam keadaan darurat?

Pertanyaan pertama adalah untuk memeriksa kesesuaian antara keputusan hutang yang akan anda buat dan berbagai tujuan masa depan yang telah ditetapkan. Dalam mengambil keputusan untuk berhutang harus dilihat kebutuhan serta kegunaan dari barang atau aset yang akan dibeli dengan hutang. Keputusan berhutang tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kelangsungan arus kas, dapat merusak tatanan keuangan. Pembayaran cicilan bulanan tetap disarankan tidak melebihi rasio pembayaran hutang yang tercakup di pertanyaan kedua.

Pertanyaan kedua bertujuan untuk memeriksa kondisi keuangan melalui besaran rasio pembayaran hutang. Angka yang dianjurkan sebagai batas atas dari rasio ini adalah 30%. Artinya adalah bila pendapatan bersih Anda sebesar 5 juta rupiah per bulan maka batas pembayaran cicilan hutang per bulan yang dianggap bijak adalah tidak lebih dari 1,5 juta rupiah.

Berhutang dalam batas wajar menunjukkan bahwa kita telah menganggarkan dana untuk kebutuhan dasar keluarga seperti belanja bulanan, dana darurat, dana pendidikan anak dan dana pensiun. Keempat pos tersebut merupakan prioritas yang harus terpenuhi. Penetapan pembayaran cicilan hutang tiap bulannya sebagai prioritas terakhir dalam perencanaan pengeluaran akan mendorong kita untuk berinvestasi lebih banyak untuk tujuan yang menjadi prioritas utama di masa depan.

Pertanyaan ketiga adalah untuk mengantisipasi keadaan darurat. Ada keadaan darurat yang dampaknya permanen, seperti risiko meninggal dunia dari pencari nafkah utama, ada pula yang sementara, misalnya musibah sakit atau kecelakaan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa batas dari pembayaran cicilan yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 30% penghasilan bersih bulanan. Namun perlu diperhatikan agar batas 30% ini jangan digunakan seluruhnya untuk kebutuhan yang terlihat sekarang. Sisakan sebagian untuk keperluan mendadak seperti biaya berobat. Bila tidak diantisipasi, kebutuhan mendadak bisa menjadi sangat memberatkan keuangan keluarga.

Kartu kredit dan pinjaman personal tanpa agunan bisa menjadi alternatif untuk pembiayaan tak terduga. Untuk kebutuhan yang sangat mendesak, dapat juga digunakan jasa penggadaian. Lewat jasa ini dapat diperoleh uang secara cepat tanpa dikenakan bunga bila Anda melunasinya dalam tempo tertentu misalnya dua minggu.

Hutang adalah ibarat pedang bermata dua. Agar tidak tersayat mata tajam pedang itu, perlu diingat aturan sederhana ini: Hindarilah hutang untuk memenuhi keinginan konsumtif dan justru membuat aset menyusut. Berhutanglah untuk berinvestasi yang akan membuat kekayaan bersih kita tumbuh berkembang.

Minggu, 08 Februari 2009

Helmi Yahya : SUKSES BISNIS SI RAJA KUIS

Di tengah kesibukannya Helmy yahya masih menyempatkan
diri menulis novel. Triwarsana perusahaan yang kini
ditanganinya mungkin adalah Production House tersibuk
di Indonesia, akhir tahun ini saja mereka akan
menangani 30 program acara televisi.
Tampaknya sulit mencari orang yang tidak mengenal
Helmy Yahya. Tokoh pengusaha muda yang akrab dengan
dunia hiburan televisi, se-abreg aktivitas kini
ditekuninya. Namun kalau boleh memilih antara menjadi
seorang entertainer, pembawa acara (MC), dosen,
manajer, artis, penyanyi atau menjadi seorang
pengusaha, Helmy yahya lebih suka jika orang
mengenalnya sebagai seorang pengusaha. Karena
menurutnya ter-cebur-nya ia ke dunia entertainment
hanyalah sebuah kebetulan semata. Di tengah
kesibukannya Helmy masih tercatat sebagai Dosen STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) untuk mata kuliah
Pemasaran, Teori Akuntansi, dan Etika Bisnis, pastilah
menyenangkan menjadi salah seorang mahasiswanya.
Menjadi dosen adalah salah satu komitmennya yang akan
terus ia lakoni, “Saya berasal dari dunia kampus, jadi
saya tidak akan meninggalkannya,” ujarnya.

Semua berawal dari sebuah pertunjukan musik di STAN,
Helmy saat itu bersama teman-temannya mengundang Ireng
Maulana. Tampaknya Ireng Maulana sangat terkesan
dengan gaya Helmy memanajemeni pertunjukan tersebut,
kebetulan saat itu Ireng Maulana All Stars adalah band
pengisi acara “Berpacu Dalam Melodi” yang diasuh oleh
Master of Quiz Indonesia Ibu Ani Sumadi. Sejurus
kemudian Helmy telah bergabung dengan Ani Sumadi
Production, sepuluh tahun lamanya (kurun waktu
1989-1999) ia menimba ilmu dari Ibu Ani Sumadi, merasa
dirinya harus lebih berkembang maka pada tahun 1999 ia
memutuskan keluar dari Ani Sumadi Production, dan
langsung mengibarkan bendera Joshua Enterprise dan
Helmy Yahya Production House, keduanya kemudian
dilebur dalam satu wadah Triwarsana yang merupakan
perusahaan patungan antara Helmy Yahya, Joddy Suherman
(ayah Joshua-red) dan Liem Sio Bok.

Redaksi Manajemen berhasil mewawancarai Helmy Yahnya,
setelah pengambilan gambar Kuis Siapa Berani.
Wawancara berlangsung di dalam mobil pribadinya,
karena satu jam kemudian ia harus menghadiri pertemuan
dengan kliennya. Helmy memilih duduk di bangku depan,
seolah ia tidak ingin tampak seperti seorang bos yang
duduk di kursi belakang, dan tidak akan masuk ke mobil
sebelum sang sopir membukakan pintu untuknya. Mobilnya
sarat dengan tumpukan buku, sebakul penuh oleh-oleh
dari kota kembang buah tangan peserta Kuis Siapa
Berani. Di dalam mobil juga ada Reinhard Tawas wakil
Helmy di Triwarsasa yang dulu pernah dikenal sebagai
komentator NBA Games di SCTV. Selanjutnya wawancara
mengalir, dan Helmy yahya pun bertutur tentang
perjalanan suksesnya.

Saya tidak pernah memimpikan keberhasilan ini, karena
saya memimpikannya lebih berhasil dari ini, ha…ha..ha…
Tidak, saya tidak pernah bermimpi, saya pikir hidup
saya akan menjadi seorang professional seperti dokter
atau insinyur, saya tidak pernah bermimpi untuk
menjadi seorang entertainer atau memiliki perusahaan.
Saya Cuma bermimpi untuk menjadi kaya. Cita-cita saya
sebelumnya adalah menjadi seorang dokter, namun
anehnya saya tidak pernah menempuh pendidikan yang
seharusnya ditempuh untuk menjadi seorang dokter. Saya
malah memilih akuntansi, karena pada saat itu saya
harus mencari sekolah yang ‘gratis’ karena saya yakin
kedua orang tua saya tidak akan pernah mampu membiayai
sekolah saya. Oleh karena itu saya keluar dari IPB dan
masuk STAN.

Saya menyikapi anggapan orang yang menganggap saya
sekarang lebih tinggi dari kakak kandung saya Tantowi
Yahya secara biasa-biasa saja, saya akui saya banyak
belajar darinya. Kami sama-sama memulai dari nol, jadi
saya pikir kita sama-sama mensyukuri apa-apa yang
telah kami dapatkan. Sekarang mungkin saya sedikit
lebih unggul dari Tanto, mungkin lain waktu kembali
Tanto yang lebih unggul, bagi saya nggak ada masalah,
wong bersaing dengan orang lain saja saya tidak ada
masalah apalagi dengan kakak sendiri.
Saya bersyukur kepada kedua orang tua saya yang
memungkinkan saya untuk meraih semua ini, ayah saya
sudah meninggal dan ibu saya sudah tua dan sekarang
sering sakit-sakitan. Kedua saya juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada istri saya tercinta,
Harfansi Yahya, tanpa dukungan darinya saya tidak akan
menjadi seperti sekarang, juga kepada ketiga anak
saya.

Saya tidak pernah membuat pentahapan dalam mencapai
apa yang kini saya dapatkan, saya bukan orang yang
begitu rigid dan menyusun planning, filosofi saya
mengalir saja, yang penting saya berusaha untuk jalan
terus, saya berusaha agar setiap hari ada sesuatu yang
bertambah. Namun demikian saya tidak pernah terkejut
dengan apa yang saya dapatkan, karena apa yang saya
dapatkan adalah hasil dari sebuah proses, jadi saya
tidak pernah mengenal apa yang dikatakan orang “aji
mumpung” atau mendapatkan sesuatu dari sebuah ketidak
sengajaan. Walaupun menurut saya Kuis “Siapa Berani”
itu merupakan sebuah serendipity, sebuah kebetulan
yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.

Masa-masa ketika saya hanya menjadi dosen di STAN
dengan gaji yang sangat terbatas, dengan tiga orang
anak adalah masa-masa yang sulit dalam perjalanan
karir saya, saat-saat seperti inilah saya mendapatkan
pelajaran kehidupan. Masa kecil saya sangat
memprihatinkan, saya tidak pernah minum susu, tidak
pernah mengenal sabun mandi, tidak pernah mengenal
shampoo, baju pun seadanya, celana saya hanya dua
hingga tiga potong saja, seringkali saya bermain
dengan bertelanjang dada, tidak ada yang istimewa,
saya lebih banyak belajar di jalanan. Itu juga yang
dialami oleh keempat saudara saya yang lainnya
termasuk Tanto, kehidupan yang sangat memprihatinkan
inilah yang kemudian memotivasi kami untuk menggapai
kesuksesan. Ayah kami senantiasa mengatakan, “Jangan
keduluan gaya daripada penghasilan.” Jadi sebelum
berhasil jangan gaya-gayaan dulu namun jika sudah
sukses mau gaya apapun silakan saja. Satu lagi yang
saya ingat, kedua orang tua kami adalah orang tua yang
tidak dengan mudah akan memenuhi apa yang kami minta,
mereka baru mau memberikan sesuatu, setelah kami
anak-anaknya melakukan sesuatu untuk mendapatkannya.
Kenyataannya pahit di masa lalu inilah yang kemudian
menjadi semacam bekal untuk menghadapi keadaan sesulit
apapun, dan saya selalu mengatakan apa yang saja
dapatkan sekarang adalah akumulasi dari kerja keras
dan keprihatinan yang telah saya lalui selama ini.

Dari setiap kegagalan saya selalu dapat menarik
pelajaran darinya, seperti ketika banyak orang yang
mengatakan Film “Joshua oh Joshua” gagal, namun
menurut saya tidak. Karena ternyata ketika film itu
ditayangkan di televisi pada malam tahun baru
ratingnya 17, dan itu adalah rating tertinggi, lebih
tinggi dari acara yang dikemas secara khusus dengan
biaya yang tinggi pada malam yang sama. Produser film
Joshua oh Joshua masih kerap menghubungi kami, namun
kami sendiri yang merasa kapok’ . Karena kita harus
tahu diri, karena di film terlalu banyak menyita
waktu. Dan pada awalnya ketika kami menggarap film itu
tak lain sebagai bentuk apresiasi kami kepada
perfilman nasional, itu saja.

Saya selalu bersiap diri untuk mengantisipasi
kegagalan, bersiap diri untuk menghindari kegagalan.
Misalnya saya ditunjuk untuk membawakan acara yang
sama sekali baru bagi saya, tentunya akan menyebabkan
rasa nervous, dan untuk menghilangkan rasa itu saya
mempersiapkan diri. Contoh lainnya ketika saya
beberapa saat yang lalu ditantang oleh Renny Jayusman
untuk menyanyikan lagu-lagu rock di Hard Rock Café,
jujur saya akui ini adalah sesuatu yang baru bagi
saya, dan jika selama ini saya kerap menantang orang
di Kuis Siapa Berani, lalu mengapa saya harus mundur
jika saya mendapatkan tantangan. Saat itu ada rasa
takut di diri saya jika saya akan gagal. Bahkan Tanto
marah besar kepada saya ketika saya menerima tantangan
itu, bagi Tanto buat apa saya mempertaruhkan reputasi
saya untuk hal yang menurut Tanto tidak patut untuk
dilaksanakan. Menurut saya satu-satunya menjawab
tantangan itu adalah dengan mempersiapkan diri, bukan
malah lari,

Dan Alhamdulillah saya berhasil, setelah pertunjukan
itu saya berhasil mendapatkan kontrak, saya langsung
kontrak untuk rekaman, saya juga mendapatkan kontrak
untuk sebuah acara musik di televisi.
Kita membutuhkan tantangan untuk membuat diri kita
menjadi lebih baik, dan jika Anda dihadapkan pada
sebuah tantangan jangan mengelak dari tantangan itu,
namun cobalah sekeras mungkin untuk menjawab tantangan
itu, belajar dan berlatihlah secara terus menerus, dan
ini yang saya lakukan.

Jika Tanto dikenal pertama kali lewat Kuis Gita
Remaja, maka saya dikenal oleh khalayak luas lewat
Kuis Siapa Berani, walaupun sebelumnya saya juga telah
terlibat dalam banyak acara olahraga seperti NBA
Games. Pengalaman saya membawa acara olahraga juga
menarik, karena di sana saya bersama dengan Agus Maulo
dan Reinhard Tawas seperti membawa genre baru. Karena
kami membawakan acara olahraga tersebut dengan emosi
yang baru, kami biasa berteriak, atau melakukan hal
lainnya yang tidak pernah kita temui pada acara serupa
di waktu-waktu sebelumnya. Saya juga sempat
mendapatkan kritik, karena saya berbicara dengan speed
yang tidak wajar, namun saya bilang kepada mereka
inilah sport, inilah basket ball semuanya berlangsung
cepat. Dan Anda lihat sekarang hampir semua pembawa
acara olahraga telah berubah, saya senang jika saya
bisa membawa sebuah perubahan.

Saya juga butuh sekali tim yang baik untuk mendukung
karir saya dan tentunya untuk kepentingan Triwarsana.
Saat ini Triwarsana telah menangani 17 program acara
televisi, dan di akhir tahun nanti Insya ALLAH akan
menjadi 30 program acara. Karena bagi kami melakukan
semua ini adalah tuntutan agar kami dapat terus
berkembang, dan saya tidak pernah ambil pusing jika
ada orang yang kemudian menganggap saya greedy. Tim
saya kini berjumlah 70-an orang. Anda bayangkan setiap
program setidaknya harus ditangani oleh 5-6 orang, ini
artinya tim saya telah bekerja dengan baik.
Alhamdulillah saya tidak pernah dibuat pusing atau
frustasi memikirkan segala sesuatunya agar dapat
berjalan seperti yang kami harapkan, karena saya
percaya tim saya sangat mengetahui apa yang mereka
lakukan. Kepercayaan adalah kata kuncinya, dan saya
bersyukur seluruh tim saya adalah anak-anak muda yang
dapat dipercaya, dan mereka bekerja selama 24 jam,
mereka juga melakukan hal ini dengan hati yang tulus,
mungkin saya telah menginspirasi mereka. Uniknya tidak
ada satu pun dari anggota tim saya yang berlatar
belakang dunia broadcast, termasuk saya yang berasal
dari disiplin ilmu akuntansi, namun karena kita telah
komitmen untuk terus belajar maka kami sebagai team
work dapat dikatakan berhasil. Tidak berlebihan jika
kemudian saya mengatakan, “Jika Anda ingin menyaksikan
secara langsung the magic of team work lihatlah
bagaimanana kami bekerja.”

Saya baru bisa tidur jam 12 malam. Biasanya saya
menyempatkan diri untuk berenang sebentar antara 10
hingga 15 menit, bagi saya saat seperti ini adalah
saat saya dapat melakukan relaksasi, sehingga
kepenatan seharian bisa saya tuntaskan. Setelah itu
saya lanjutkan dengan membaca buku. Aktivitas saja
buka dengan melaksanakan Shalat Subuh. Jam 8 pagi saya
harus sudah berada di Indosiar untuk Kuis Siapa
Berani.

Anda bayangkan dengan 17 program acara, kadang saya
harus menyusun waktu sedemikian rupa agar saya bisa
menyaksikan proses pengambilan gambar dari ke-17
program tersebut. Belum lagi dengan 6-7 kali meeting
dalam seharinya. Malam harinya saya juga kerap
didaulat untuk menjadi MC pada acara-acara tertentu.
Dan saya bersyukur masih dapat mengaturnya dengan
baik, sehingga tidak ada satupun yang tertinggal,
terutama perhatian saya kepada keluarga saya, bagi
saya ini adalah prioritas.

Hironobu Sakaguchi

Hironobu Sakaguchi (1962) dulu menjabat Direktur
Perencanaan dan Pengembangan untuk Square Co., Ltd. Ia
adalah pencipta seri permainan Final Fantasy. Pada
tahun 1991 ia diberi kehormatan menjabat Wakil
Presiden Eksekutif dan tak lama berselang ditunjuk
menjadi Presiden Square USA, Inc. Pada tahun 2001, ia
mendirikan he Mistwalker, yang mulai beroperasi tiga
tahun kemudian.

Sakaguchi bersama-sama Masafumi Miyamoto mendirikan
Square pada tahun 1983. Permainan-permainan pertama
mereka sangat tidak sukses. Ia lalu memutuskan untuk
menciptakan pekerjaan terakhirnya dalam industri
permainan dengan seluruh sisa uang Square, dan
menamakannya Final Fantasy. Permainan ini, di luar
perkiraannya sendiri, ternyata melejit, dan ia
membatalkan rencana pensiunnya. Ia kemudian memulai
kelanjutan permainan ini dan saat ini telah dibuat
Tiga belas permainan Final Fantasy. Setelah enam
permainan pertama dipasarkan, ia lebih berperan
sebagai produser eksektuif untuk seri ini dan juga
banyak permainan Square lainnya.

Sakaguchi memiliki karir yang panjang dalam industri
permainan dengan penjualan lebih dari 80 juta unit
permainan video di seluruh dunia. Sakaguchi mengambil
lompatan dari permainan ke film saat ia mengambil
peran sebagai sutradara film dalam Final Fantasy: The
Spirits Within, sebuah film animasi yang didasari dari
seri permainan terkenalnya Final Fantasy. Akan tetapi,
film ini ternyata gagal dan menjadi salah satu film
yang paling merugi dalam sejarah perfilman, dengan
kerugian lebih dari 120 juta USD yang berujung dengan
ditutupnya Square Pictures. Sakaguchi lalu diturunkan
dari posisi eksekutif Square. Kejadian ini juga
mengurangi keuangan Square dan akhirnya membawa Square
bergabung dengan saingannya Enix, menjadi Square Enix.
Sakaguchi lalu mengundurkan diri dari Square dan
mendirikan Mistwalker dengan dukungan finansial dari
Microsoft Game Studios.

Pada tahun 2001, Sakaguchi menjadi orang ketiga yang
masuk dalam Academy of Interactive Arts and Science'
Hall of Fame. Pada bulan Februari 2005 diumumkan bahwa
perusahaan Sakaguchi, Mistwalker, akan bekerja sama
dengan Microsoft Game Studios untuk memproduksi dua
permainan role-playing game untuk Xbox 360.

Pelajaran berharga: Dari awal karier, beliau banyak
mengalami kegagalan, namun beliau tidak pernah
menyerah hingga akhirnya menciptakan seri "Final
Fantasy" yang sangat di nantikan kehadirannya, bahkan
di puncak kariernya beliau kembali menghadapi
kegagalan melalui proyek kontroversialnya (Final
Fantasy : Spirit Whitin) yang mengakibatkan penurunan
jabatan dan penutupan "Square Pictures" hingga
akhirnya pengunduran dirinya dari Square.

Namun itu bukan akhir dari beliau, tapi menjadi
loncatan bagi dia untuk kembali bangkit.

JK Rowling (Harry Potter)

Sejak kecil, Rowling memang sudah memiliki kegemaran
menulis. bahkan di usia 6 tahun, ia sudah mengarang
sebuah cerita berjudul Rabbit. ia juga memiliki
kegemaran tanpa malu" menunjukan karyanya kepada
teman" dan orangtuanya. kebiasaan ini terus dipelihara
hingga ia dewasa. daya imajinasi yang tinggi itu pula
yang kemudian melambungkan namanya di dunia.

Akan tetapi, dalam kehidupan nyata, Rowling seperti
tak henti disera masalah. keadaan yang miskin, yang
bahkan membuat ia masuk dalam kategori pihak yang
berhak memperoleh santunan orang miskin dari
pemerintah Inggris, itu masih ia alami ketika Rowling
menulis seri Harry Potter yang pertama. ditambah
dengan perceraian yang ia alami, kondisi yang serba
sulit itu justru semakin memacu dirinya untuk segera
menulis dan menuntaskan kisah penyihir cilik bernama
Harry Potter yang idenya ia dapat saat sedang berada
dalam sebuah kereta api. tahun 1995, dengan susah
payah, karena tak memiliki uang untuk memfotocopy
naskahnya, Rowling terpaksa menyalin naskahnya itu
dengan mengetik ulang menggunakan sebuah mesin ketik
manual.

Naskah yang akhirnya selesai dengan perjuangan susah
payah itu tidak lantas langsung diterima dan meledak
di pasaran. berbagai penolakan dari pihak penerbit
harus ia alami terlebih dahulu. diantaranya, adalah
karena semula ia mengirim naskah dengan memakai nama
aslinya, Joanne Rowling. pandangan meremehkan penulis
wanita yang masih kuat membelenggu para penerbit dan
kalangan perbukuan menyebabkan ia menyiasati dengan
menyamarkan namanya menjadi JK Rowling. memakai dua
huruf konsonan dengan harapan ia akan sama sukses
dengan penulis cerita anak favoritnya CS Lewis.

Akhirnya keberhasilan pun tiba. Harry Potter luar
biasa meledak dipasaran. semua itu tentu saja adalah
hasil dari sikap pantang menyerah dan kerja keras yang
luar biasa. tak ada kesuksesan yang dibayar dengan
harga murah

Eka Tjipta Wijaya : Saya Belajar di Pinggir Jalan

Bersama ibu, saya ke Makassar tahun 1932 pada usia sembilan tahun. Kami berlayar tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa tidur di tempat paling buruk di kapal, di bawah kelas dek. Hendak makan masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar, tetapi tak bisa dibelanjakan, karena untuk ke Indonesia saja kami masih berutang pada rentenir, 150 dollar.

Tiba di Makassar, Eka kecil – masih dengan nama Oei Ek Tjhong – segera membantu ayahnya yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil. Tujuannya jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan kepada rentenir. Dua tahun kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka pun minta Sekolah. Tapi Eka menolak duduk di kelas satu.

Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia pun mulai jualan. Ia keliling kota Makassar, menjajakan biskuit dan kembang gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar masa itu. Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat usahanya berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.

Namun ketika usahanya tumbuh subur, datang Jepang menyerbu Indonesia, termasuk ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur total, tak ada barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000 yang ia kumpulkan susah payah selama beberapa tahun, habis dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Di tengah harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya dan keliling Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini salah satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat betapa ratusan tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan Belanda. Tapi bukan tentara Jepang dan Belanda itu yang menarik Eka, melainkan tumpukan terigu, semen, gula, yang masih dalam keadaan baik. Otak bisnis Eka segera berputar.

Secepatnya ia kembali ke rumah dan mengadakan persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Ia merencanakan menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan kerja itu.
Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya. Semula alat itu ia pinjam dari ibunya. Enam ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Dia juga pinjam satu botol wiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya.

Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja.

Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda. Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu dan membayar mereka 5 – 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh terisi segala macam barang. Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.

Karena waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak Cina dan barang lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga. Ia mulai menjual terigu. Semula hanya Rp. 50 per karung, lalu ia menaikkan menjadi Rp.. 60, dan akhirnya Rp. 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp. 20 per karung, kemudian Rp. 40.

Kala itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia ngapain jual semen ke kontraktor? Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia bayar tukang Rp. 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp. 3.500 per kuburan, dan yang terakhir membayar Rp. 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor kuburan.

Demikianlah Eka, berhenti sebagai kontraktor kuburan, ia berdagang kopra, dan berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah.
Eka mereguk laba besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena Jepang mengeluarkan peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang memberi Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng Rp. 6. Eka rugi besar.

Ia mencari peluang lain. Berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang tanah), wijen, kembang gula. Tapi ketika mulai berkibar, harga gula jatuh, ia rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang. Eka harus menjual mobil jip, dua sedan serta menjual perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk menutup utang dagang.
Tapi Eka berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya. Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun 1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis dijarah oknum-oknum Permesta. Modal dia habis lagi. Namun Eka bangkit lagi, dan berdagang lagi.

Usahanya baru benar-benar melesat dan tak jatuh-jatuh setelah Orde Baru, era yang menurut Eka, “memberi kesejukkan era usaha”. Pria bertangan dingin ini mampu membenahi aneka usaha yang tadinya “tak ada apa-apanya” menjadi “ada apa-apanya”. Tjiwi Kimia, yang dibangun 1976, dan berproduksi 10.000 ton kertas (1978) dipacu menjadi 600.000 ton sekarang ini.
Tahun 1980-1981 ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu hektar di Riau, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton dibelinya pula.

Tahun 1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia. Awalnya BII hanya dua cabang dengan aset Rp. 13 milyar. Setelah dipegang dua belas tahun, BII kini memiliki 40 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp. 9,2 trilyun. PT Indah Kiat juga dibeli. Produksi awal (1984) hanya 50.000 ton per tahun. Sepuluh tahun kemudian produksi Indah Kiat menjadi 700.000 ton pulp per tahun, dan 650.000 ton kertas per tahun. Tak sampai di bisnis perbankan, kertas, minyak, Eka juga merancah bisnis real estate. Ia bangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy ia bangun apartemen Green View, di Kuningan ada Ambassador.
“Saya Sungguh menyadari, saya bisa seperti sekarang karena Tuhan Maha Baik. Saya sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba Nya yang baik,” katanya mengomentari semua suksesnya kini.

“Kecuali itu, hematlah,” tambahnya. Ia menyarankan, kalau hendak menjadi pengusaha besar, belajarlah mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp. 100, belanjanya Rp. 90. Dan kalau untung Cuma Rp. 200, jangan coba-coba belanja Rp. 210,” Waahhh, itu cilaka betul,” katanya.

Setelah 58 tahun berbisnis dan bergelar konglomerat, Eka mengatakan, dia pribadi sebenarnya sangat miskin. “Tiap memikirkan utang berikut bunganya yang demikian besar, saya tak berani menggunakan uang sembarangan. Ingin rehat susah, sebab waktu terkuras untuk bisnis. Terasa benar tak ada waktu menggunakan uang pribadi,” Eka mengeluh. Hendak makan makanan enak, lanjutya, sulit benar karena makanan enak rata-rata berkolesterol tinggi.

Inilah ironi, kata Eka. Dulu ia susah makan makanan enak karena miskin. Kini ketika sudah “konglomerat” (dengan 70 ribu karyawan dan hampir 200 perusahaan), Eka tetap susah makan enak, karena takut kolestrol. Usia ayah delapan anak kelahiran 3 Oktober 1923 ini sudah hampir 73 tahun. Usia yang menuntutnya menjaga kesehatan secara ketat dan prima.