Sabtu, 28 Februari 2009

Hot Money, by Roy Sembel

Lima tahun lalu, tidak banyak orang yang menduga bahwa pasar saham Indonesia akan melonjak sedemikian pesatnya sehingga indikator pasar saham yaitu IHSG akan menembus di atas 2000. Saat itu level IHSG berada di sekitar 400, tidak banyak beranjak sejak tahun 2000. Dalam tempo 5 tahun terakhir, IHSG sudah melonjak lebih dari 5 kali lipat. Dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2007, IHSG telah melonjak lebih dari 20%. Kenaikan yang luar biasa pesat ini rupanya bukan monopoli pasar saham Indonesia saja, melainkan juga terjadi di pasar modal negara lain baik di pasar yang sudah mapan maupun pasar yang sedang berkembang (emerging markets). Misalnya saja MSCI Index (indikator yang mewakili pergerakan pasar saham dunia) selama paro pertama 2007 juga telah meningkat di atas 20%. Fenomena global ini dimaknai oleh banyak analis sebagai kelebihan likuiditas di level global sehingga “too much money chasing too little financial instruments. ” Singkatnya, ada
banyak hot money beredar di seluruh dunia. Ketersediaan dana besar, sementara tempat investasi sedikit. Harga pun melambung tinggi sehingga banyak pemodal untung besar. Hot money dipersepsikan menjadi primadona atau honey. Sayangnya, peningkatan harga sekuritas finansial akibat aliran hot money bersifat temporer. Uang panas itu biasanya dengan mudah akan berpindah dari suatu pasar modal ke pasar lain. Akibatnya, uang panas akan berdampak terhadap meningkatnya gejolak, baik di pasar modal mau pun di pasar valas, khususnya di negara-negara yang pasar finansialnya masih belum dalam.

Gejala gejolak (volatilitas) yang tinggi ini sudah mulai terasa di Indonesia. Akibat masalah eksternal, yaitu tingginya kredit macet pada sub prime mortgage di AS, pasar modal Indonesia pun terkena getahnya. Pada peralihan bulan Juli Agustus 2007, IHSG bergejolak seolah roller coaster. Setelah sempat mencapai rekor tertinggi menembus 2401 pada minggu terakhir bulan Juli 2007, IHSG tumbang sekitar 10% sampai ke level 2174 dalam hitungan hari. Gejolak terus berlanjut memasuki minggu kedua bulan Agustus. Pada tanggal 10 Agustus 2007, indeks ditutup pada level 2207 melorot 34 poin dibanding hari sebelumnya. Penawaran saham sekunder Bank BNI pun menjadi korban. Banyak pemesan saham Bank BNI membatalkan pesanannya karena khawatir kejatuhan pasar saham akan terus berlanjut. Pelarian uang dari pasar finansial ini selain menyebabkan rontoknya harga saham, juga membuat pasar obligasi dan mata uang rupiah terguncang. Selama bulan Juli saja, jumlah dana yang
diparkir di SBI dan SUN telah turun belasan trilyun rupiah. Gejolak juga terasa sekali di pasar valas sampai menjelang peringatan 10 tahun Proklamasi Kemerdekaan Rupiah (pita intervensi rupiah dicabut dan rupiah dibiarkan mengambang 14 Agustus 1997 - 14 Agustus 2007). Kurs dollar menguat (rupiah melemah) dari level Rp 9100/$ ke level di atas Rp 9300/$.

Hot money memang bisa bermanfaat saat uang itu masuk ke dalam pasar atau negara. Kendati begitu, hot money akan menjadi boomerang saat mereka secara cepat meninggalkan pasar atau negara. Volatilitas adalah hal yang wajar dalam dunia yang semakin mengglobal. Kendati begitu, gejolak yang berlebihan akan sangat kontra produktif bagi perkembangan dan kesehatan pasar finansial dan perekonomian nasional. Hot money bukanlah honey (madu). Jadi perlu ada mekanisme terstruktur untuk meredam dampak volatilitas dari hot money.

Insentif, bukan larangan

Indonesia perlu mengundang dana asing masuk untuk berinvestasi di Indonesia.. Tetapi jenis dana asing yang diperlukan adalah dana untuk sektor riil berjangka panjang. Investasi portofolio asing di Indonesia sudah cukup, bahkan cenderung berlebihan. Saat ini dana pihak ketiga yang masih menganggur (belum disalurkan sebagai kredit) masih ratusan trilyun. Jadi dana domestik di sektor finansial masih cukup besar. Hal ini tidak berarti kita harus melarang dana asing yang masuk untuk investasi portofolio ke sektor finansial. Cara yang paling tepat adalah dengan memberi insentif kepada dana asing jangka pendek itu untuk menetap di Indonesia. Sebagai contoh, bila dana investasi portofolio jangka pendek itu telah mengendap setahun dan kemudian dialihkan ke investasi sektor riil jangka panjang terutama yang menyerap banyak tenaga kerja, maka diberikan insentif berupa beberapa kemudahan seperti fasilitas swap valas dengan kurs menarik, keringanan perpajakan, dll.
Selanjutnya, untuk dana asing yang belum masuk, bisa dibuatkan perlakuan berbeda misalnya dengan subsidi silang rentang kurs jual beli (bid-ask spread) yang lebih menguntungkan investor jangka panjang di sektor riil. Pemerintah bisa juga melengkapi daftar negatif investasi dengan daftar sektor yang menjadi prioritas pengembangan (misalnya pembangunan infrastruktur di wilayah tertinggal, pengembangan energi alternatif, industri berorientasi ekspor, dll) yang akan diberikan kemudahan atau perlakuan khusus. Sebagai tambahan, bagi investor asing yang telah setia berinvestasi dalam jangka panjang di Indonesia perlu diberikan apresiasi atau penghargaan khusus. Jangan sampai kita mencari kawan baru namun melupakan sahabat lama.

Peringatan 10 tahun ‘Hari Kemerdekaan Rupiah’ 14 Agustus 1997, selayaknya dijadikan momentum untuk koreksi diri. Kebebasan yang berlebihan bisa berbuah menjadi bencana seperti yang terjadi semasa krisis tahun 1997-1998. Sebagai tuan rumah, kita berhak menentukan tamu mana yang mendapat prioritas untuk diundang. Adanya sistem penghargaan dan insentif khusus bagi tamu prioritas ini akan meningkatkan manfaat menjadi investor jangka panjang di sektor riil pada sektor yang akan membawa imbas nilai tambah yang signifikan bila dikembangkan. Al hasil, komposisi tamu yang datang ke rumah kita akan mengalami self-selection ke arah yang kita inginkan, yaitu membawa manfaat jangka panjang yang win-win baik bagi tamu maupun tuan rumah. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar